Kamis, 14 Oktober 2010

BAGAIMANA MEMULAI PRODUKSI FILM DOKUMENTER

         Mungkin tidak pada tempatnya jika Anda akan sungguh-sungguh mengatakan bahwa memulai produksi film dokumenter adalah sesuatu yang sederhana. Tetapi memang sesungguhnya, terdapat kesederhanaan di dalamnya. Hal ini terutama jika kita mengacu pada definisi film dokumenter yang sudah kita diskusikan sebelumnya. Beberapa elemen penting dalam film dokumenter adalah realitas, interpretasi, dan kreativitas.
          Realitas adalah realitas, terserak di mana-mana. Anda dengan mudah dapat menggapainya, di sekitar rumah Anda, di desa Anda, di dalam kelompok Anda, di kota dan juga di negara Anda. Pilihlah satu realitas yang Anda bisa menikmatinya, dan mulailah melakukan eksplorasi untuk memproduksi film dokumenter Anda sendiri tentang suatu hal yang Anda senangi. Lumière bersaudara melakukan juga dengan cara itu, yaitu merekam kegiatan para pekerja yang sedang pulang dari pabrik kamera mereka. Bukankah tindakan mereka adalah suatu langkah hebat dalam memproduksi film dokumenter, namun sejatinya adalah hal sederhana?
Kemudian Anda dipersilakan menginterpretasikan tentang apa yang Anda saksikan. Jika Anda menganggap tidak perlu melaporkan seorang anak yang mencuri mangga dari pohon di pekarangan Anda kepada polisi , atau Anda menganggap bahwa mengendarai mobil dengan kecepatan 5km per jam adalah tindakan salah untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, lakukanlah interpretasi itu dengan film Anda!
          Kreativitas diperlukan untuk menangkap realitas dengan sudut pandang mata kamera, menjajagi kekayaan interpretasi, dan mengekspresikan hal-hal itu ke dalam gambar bergerak di layar.

Mahalkah?
          Sementara pihak mengatakan bahwa memproduksi film dokumenter membutuhkan banyak dana. Dalam batas tertentu mereka betul namun jika hanya berpikir dengan kacamata “hal besar” termasuk dalam memproduksi film. Pertanyaan saya adalah, mengapa kita diharuskan selalu berpikir tentang hal besar? Apakah Auguste dan Louis Lumière melakukan hal yang “benar-benar besar” saat mereka memutuskan untuk syuting “Workers Leaving the Lumière Factory”? Ya, memang mereka melakukan langkah besar saat mereka mulai memproses penemuan kamera film, karena dilaporkan bahwa biaya riset mereka mahal. Namun ide men-syuting para pekerja yang pulang kerja dari pabrik mereka adalah langkah sederhana dan benar-benar murah. Walau demikian hasilnya menjadi tonggak sejarah penting dalam pembuatan film dokumenter. Hal sederhana bisa menjadi sesuatu yang besar, namun hal besar tidak secara otomatis akan menjadi sesuatu yang penting!
          Di samping itu, kini teknologi menawarkan berbagai kesempatan dalam proses produksi film dokumenter berbiaya murah. Bahkan sebuah HP dengan kamera sederhana bisa menjadi kamera film Anda. Tidak selalu harus dengan kamera profesional berstandar broadcasting yang besar dan berat seharga berpuluh atau ratus juta rupiah. Cukup transfer footages Anda dari HP ke komputer, dan lakukan editing!
          Tetapi bagaimana dengan software untuk editing, music, studio dan juga untuk mixing film dokumenter? Biaya untuk itu sangat besar, bukan? Betul, namun pertanyaan saya adalah, apakah kita harus menghabiskan dana demikian besar untuk memulai langkah sebagai pemula? Sebetulnya, Anda bisa memiliki semua hal itu cuma-cuma! Begitu banyak open source yang menyediakan secara gratis hal-hal yang diperlukan. Cobalah cari di mesin pencari internet, Anda akan terkejut melihat begitu banyak penawaran gratis yang demikian memudahkan!

Rabu, 13 Oktober 2010

SEJARAH FILM DOKUMENTER

           Peneliti Auguste dan Louis Lumière dari Perancis ( berurutan Okt 1862 – Apr 1954 dan Okt 1864 – Jun 1948 ) dianggap sebagai pihak yang pertama kali membuat film dokumenter.  Dengan menggunakan kamera film temuan mereka yang diberi nama Cinematographe ( istilah ‘cinema’ dan ‘cinematography’ berakar dari nama ini), film “La Sortie des ouvriers de l’usine Lumière” atau “Para Pekerja Meninggalkan Pabrik Lumière” adalah film dokumenter pertama yang pernah dibuat manusia. Film itu mereka buat di tahun 1895. Pada tahun 1896 mereka memproduksi lebih dari 40 judul film dokumenter yang antara lain menceritakan tentang kedatangan kereta api, permainan kartu, pandai besi si pekerja keras, menyusui bayi, prajurit berbaris, dan kegiatan di jalanan kota.
            Walau demikian ada sanggahan lain yang mengatakan bahwa asal muasal film dokumenter adalah gerak kaki-kaki kuda. Pasalnya, lebih awal dari ketika Lumière bersaudara menciptakan kamera film dan membuat film dokumenter pertamanya, seorang mantan Gubernur Kalifornia di AS pada tahun 1871 membuat serial foto gerakan-gerakan berbeda dari kaki-kaki kuda miliknya ketika si kuda berlari. Dia melakukannya untuk kajian pribadi tentang kuda, dengan cara memasang 14 kamera foto yang dijepret secara simultan bergantian selama kuda berlari. Tentu saja, hasil dari karya ini adalah serial still pictures dan bukan sebuah film. Menurut pendapat saya dengan definisi dan dari sudut pandang apapun, kita tidak bisa menganggapnya sebagai film dokumenter.
            Sebenarnya, sejarah film dokumenter adalah sedini sejarah pembuatan film itu sendiri. Peristiwa-peristiwa besar seperti perang, revolusi, penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi, atau perkembangan kehidupan masyarakat, direkam dengan sudut pandang film jenis ini. Misalnya Revolusi Bolshevik di Rusia, oleh penguasa dibuat film dokumenter untuk tujuan propaganda. Seorang sutradara AS Robert Flaherty membuat  “Nanook of the North”,  sebuah film dokumenter yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Eskimo berdasarkan pengalaman pribadi Flaherty tinggal selama 16 bulan bersama mereka. Film ini kemudian menjadi kiblat pembuatan banyak film dokumenter lain. Bruce Woolfe, seorang sutradara Inggris membuat serial dari kompilasi film selama Perang Dunia I. Karyanya kemudian diyakini sebagai film dokumenter pertama yang didasarkan pada interpretasi sejarah yang terungkap dari bahan-bahan berita. Kulturfilme, sebuah lembaga film Jerman, pada tahun 1925 memproduksi “Ways to Health and Beauty” ( Wege zu Kraft und Schönheit  ).
            Di Inggris dengan dipelopori oleh Grierson, film-film dokumenter sangat mempengaruhi pembuatan film dunia di dekade 1930an. Film-film karya Grierson antara lain “Drifters” ( menceritakan kehidupan para nelayan ikan hering di Inggris, dibuat 1929 ), dan “Night Mail” ( tentang kereta api malam yang mengirim pos dari London ke Edinburgh, 1936 ).
            Perang Dunia II telah mendorong diproduksinya banyak film dokumenter. Setelah menasionalisasi perusahaan film, penguasa Nazi Jerman memproduksi film-film dokumenter untuk tujuan propaganda. Di AS sejak tahun 1942 sampai dengan 1945, Frank Capra memproduksi serial dokumenter “Why We Fight”. Serial film dokumenter ini diperuntukkan Korps Sinyal AD AS. Beberapa film dokumenter asal Inggris dalam periode Perang Dunia Kedua antara lain “London Can Take It” (1940),  “Target for Tonight” (1941), dan “Desert Victory” (1943). Setelah masa perang usai, Lembaga Film Kanada berhasil mengubah film edukasi menjadi daya tarik bagi penonton secara nasional.
            Film dokumenter juga menjadi popular sebagai program televisi sejak akhir dekade 1960an dan awal 1970an. Dalam hal di Indonesia,  perkembangan ini dipelopori oleh satu-satunya stasion televisi yang  ada saat itu dan secara ketat diawasi pemerintah, yaitu TVRI, sebagai corong propaganda rejim otoritarian Orde Baru. Bersama PFN dan BSF, salahsatu produk “film dokumenter” pemerintah yang wajib tonton bagi pelajar tiap tahun adalah “Pengkhianatan G30S/PKI” yang tiap tahun ditayangkan oleh TVRI. Film ini disutradarai Arifin C.Noer, menceritakan interpretasi penguasa dan Arifin C.Noer tentang malam tanggal 30 September 1965, yang menentukan garis nasib bangsa Indonesia 33 tahun kemudian.
            Setelah kejatuhan rejim Soeharto di tahun 1998, stasion televisi berita pertama didirikan pada tahun 2001. MetroTV, stasion televisi berbasis berita tersebut memperkenalkan film-film dokumenter melalui program-program televisinya, termasuk yang terkenal adalah sebuah program berbasis beasiswa pembuatan film dokumenter untuk generasi muda, ‘Eagle Award’.  Puluhan film dokumenter telah dihasilkan dari program ini, diproduksi oleh para sineas muda dari seluruh Indonesia.  Bertahun kemudian setelah MetroTV, sebuan stasion televisi berita TVOne didirikan oleh keluarga Bakrie,  konglomerat dari Sumatra Selatan. Mengikuti jejak MetroTV, stasion televisi ini juga menyiarkan beberapa program film dokumenter di sepanjang hari siarannya.
            Upaya-upaya nyata dua stasion televisi di Indonesia dalam memperkenalkan film dokumenter dengan cara ajakan untuk menonton maupun membuat ini, telah berhasil meningkatkan minat ke genre film ini di Indonesia. Komunitas-komunitas film dokumenter berdiri di seluruh pelosok Indonesia. Apresiasi masyarakat bertumbuh, terlihat dari minat yang semakin meningkat setiap perhelatan film dokumenter diselenggarakan.